Pada awal kehadiran
kesenian dalam kehidupan manusia memiliki arti tersendiri bagi kehidupan
manusia. Terutama pada masa “domesticated perio” peradaban manusia
yang memberikan waktu lebih banyak untuk melakukan hal-hal lain selain dari
bekerja mendukung nafkah hidupnya. Meskipun secara kasuistik manusia sudah
melakukan kreasi “seni” sebelum masa tersebut, yaitu di masa manusia masih‘nomadic’ dan
masih bersifat komunitas “food gatherer” dengan lukisan-lukisan ‘cave
paintings’nya. Meskipun berbagai asumsi raison d’etre keberadaannya
banyak yang masih simpang siur mempertanyakannya. Namun yang pasti karena
mereka belum mengenal istilah “art” maka karya-karya mereka baru
dapat diapresiasi sebagai karya seni setelah beribu tahun kemudian. Dari
kenyataan tersebut dapat kita amati bahwa sejak dahulu kala ternyata bakat dan
kemampuan menciptakan karya seni sudah terlihat pada manusia purba yang belum
menyadari bahwa apa yang mereka ciptakan adalah sebuah ‘karya seni’.
Kenyataan bahwa sebuah
karya seni itu konon bisa dipersepsi keindahan dan maknanya karena entitas
keberadaannya yang tergantung dari sisi mana mempersepsinya, ”Beauty is in
the eyes of the beholder...”. Hal ini dapat diartikan bahwa keindahan
sebuah karya seni dapat dibedakan karena cara pandang yang berbeda. Kasus
keberadaan “cave paintings” tersebut ternyata dimaknai dengan berbagai
asumsi yang didasarkan pada berbagai kepentingan yang memaknainya. Antara lain,
seorang pakar sejarah seni
melihatnya sebagai ‘karya seni’ yang
merupakan hasil representasi dari apa yang dilihat di alam kehidupan manusia
Purba tersebut pada waktu dan tempat tertentu dengan segala aspek estetisnya.
Kehadirannya bisa dijadikan sebagai satu titik tolak pengkajian historis
perkembangan diakronik awal seni visual manusia; Sedangkan bagi seorang perupa,
karya seni tersebut akan dilihat dari sisi kaidah kesenirupaannya dengan segala
aspek bentuk estetisnya. Telaah teknis dan upaya apresiatifnya terhadap daya
tampil lukisan dinding goa tersebut akan memperkaya vokabulari estetika
kesenirupaan yang diperlukan bagi pengembangan dan pemantapan karirnya sebagai
seorang senirupawan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tampilan
karya seni tersebut dapat memberikan
masukan yang dapat menstimulir
ide penciptaan karya seninya sendiri;
Bagi pakar komunikasi, lukisan dinding goa tersebut merupakan medium komunikasi
visual antar manusia dan kelompoknya yang saling bertukar pesan. Setiap elemen
visual yang tergambarkan dianggap memiliki makna pesan yang tentunya dikomunikasikan
dengan sesamanya dalam waktu yang sama atau dengan generasi berikutnya.
Termasuk di dalamnya segenap ekspresi dan emosinya dalam proses penciptaannya.
Hal ini didukung oleh pernyataan Leo Tolstoy (“Art is the Communication of
Emotion”) yang menyatakan bahwa karya seni itu merupakan media komunikasi
emosi dari si seniman kepada penikmatnya;
Sedangkan bagi pakar psikologi, lukisan
dinding goa tersebut memiliki makna sebagai upaya kejiwaan untuk memberikan
semangat dan sugesti bagi para pemburu dalam suatu upacara ritual sebelum
perburuan binatang tersebut dilakukan di zaman Purba. Dengan mengacung-acungkan
panah atau tombak kepada gambar-gambar binatang yang terlukis di dinding goa
sambil menari-nari mengelilingi api unggun, mereka berharap pada perburuannya
nanti akan membuahkan hasil yang diharapkan. Dari sisi lain, seperti yang
tersirat dalam teori kejiwaan manusia yang disebut dengan terma “horor vacu” yang
mengisyaratkan bahwa manusia itu pada dasarnya takut pada kesunyian atau
kekosongan sehingga mereka kalau sedang sepi dan sunyi akan membuat
suara-suara atau gerak-gerak dan atau
menggambar di dinding-dinding goa yang kosong tersebut seperti apa yang
dilakukan oleh para “grafitti artists” masa kini dalam
mengekspresikan emosinya. Hal ini seiring dengan pernyataan Eugene Veron yang
menyatakan bahwa karya seni disebutnya sebagai “Art as the Expression of
Emotion”; Bagi pakar edukasi, lukisan dinding goa tersebut konon dimaknai
sebagai salah satu upaya edukasi bagi kelompok anak-anak yang harus tinggal di
dalam goa karena ditinggal oleh orang tua mereka yang sedang melakukan
perburuan. Lukisan tersebut diciptakan sebagai alat peraga visual yang
menginformasikan berbagai jenis dan bentuk binatang yang harus diburu pada
waktu mereka kelak sudah siap untuk ikut dalam perburuan dengan anggota
masyarakatnya yang sudah dewasa.
Dari beberapa asumsi
para pakar yang berbeda kompetensinya tadi ternyatakan bahwa sebuah tampilan
lukisan goa dapat dipersepsi dan dimaknai secara berbeda. Terutama untuk
menjawab pertanyaan mengapa karya seni itu meng’ada’ dalam kehidupan manusia
sejak dahulu kala. Namun secara pasti dapat dikatakan bahwa dari semua asumsi
tersebut terlihat karakter dari kehadiran karya seni tersebut yang intinya
memiliki karakter umum sebagai medium upaya pemenuhan kebutuhan manusia.
Nilai karakter sebuah
karya seni juga dapat dilihat dari faktor tampil eksistensi fisiknya baik itu
yang bersifat karya seni yang diciptakan untuk ‘meruang’ (spatial arts)
maupun yang ‘mewaktu’ (timely arts). Ataupun karya seni yang merupakan
kombinasi keduanya yang dalam kehadirannya memerlukan ruang dan waktu. Dalam
hal ini karakter karya seninya terindikasikan dari sisi bentuk (physical
forms) yang terukur karena standar
ukuran yang digunakan (sizes, volumes)
maupun kondisi dan durasi waktu tampil yang diperlukan. Dengan demikian dapat
juga diamati karakter karya seni yang berbeda tidak saja karena ruang yang
diperlukan untuk mengada itu berbeda, tetapi juga karena waktu yang
diperlukannya juga berbeda durasinya. Di samping itu, boleh juga dikatakan
bahwa karakter karya seni bisa dibedakan antara kehadiran fisiknya yang sudah
jadi (finished object) dengan yang (on-going process object)
karena perbedaan jenis atau genrenya.
Masing-masing disiplin
karya seni dengan ‘intrinsic properties’ yang berbeda juga bisa
memberikan persepsi kesan karakter yang berbeda pula. Baik itu yang menyangkut
kualitas dan kuantitas elemen-elemen intrinsik yang diaplikasikan maupun yang
bersifat “extrinsic properties” (unsur-unsur pendukung
penampilan). Hal ini terkait dengan masalah penekanan dan dominansi penampilan
karya seni itu sendiri yang dianggap dapat memberikan kesan karakter yang unik
bagi kehadiran karya seni secara keseluruhan. Aplikasi praksis dari
pendayagunaan intrinsic danextrinsic
properties/qualities pada setiap karya seni
dapat dipersepsi sebagai upaya pembeda yang bisa digolongkan dalam tampilan
gaya, langgam, atau corak (style or mode of expression) tersendiri.
Khusus pada kehadiran karya-karya seni murni (expressive or absolute)
memperlihatkan upaya pendayagunaan elemen intrinsik yang dominan karena
didorong oleh keinginan memberikan ciri, corak, dan gaya yang berbeda sebagai
sebuah gaya ‘tampil beda’ yang tersendiri baik itu yang bernuansa gaya pribadi,
zaman, geografis, dan
mode masa kini atau semangat kekinian
zaman (personal, periodical, geographical, & trend or l’esprit de l’age).
Ini semua merupakan beberapa indikator karakter karya seni yang umum karena
keberadaan atau kehadiran yang nyata dari setiap karya seni di sekitar kita.
Adapun karakter khusus
dari karya seni ternampakkan pada tujuan, fungsi, ide dan konsep, serta nilai
filosofis keberadaan karya seni tersebut beserta segala aspeknya. Hal ini bisa
kita dapatkan dari hasil analisis pengamatan yang mendalam tentang semua
karakter umum karya-karya seni yang ada sehingga bisa didapatkansignificant
idea yang tersirat di dalamnya.
Tujuan dan fungsi
kehadiran karya seni tentunya dalam tahapan penciptaan karya (creative
process) menjadi tumpuan utama yang memberikan arah sasaran kemana sebuah
karya seni nantinya akan dibawa. Didukung oleh ‘niat’ (rasa & karsa) maka
tujuan dan fungsi karya seni menjadi ‘pengawal’ proses kreatif penciptaan karya
seni sampai jadi dan berfungsi optimal sesuai dengan tujuan utama penciptaannya.
Sedangkan
ide dan konsep merupakan pemicu dan
pemikiran kerja bagaimana ‘tujuan’ harus diciptakan. Sebagai unsur pemicu, ide
seorang seniman merupakan hasil dari banyak hal. Diantaranya dapat berupa
observasi secara mendalam tentang karya dan fungsinya sehingga diperlukan suatu
upaya eksploratif berbekal pengetahuan, ketrampilan, dan rasa estetis yang akan
diujicobakan dalam kegiatan ‘trial & error’ untuk mendapatkan hasil
bentuk yang diharapkan. Namun demikian perlu dicermati bahwa penciptaan karya
seni
yang ekspresif berbeda nuansa ide
konsepnya dengan karya seni yang bersifat seni terapan (applied arts).
Kalau pelaksanaan ide konsep pada seni ekspresif lebih dominan aspek rasa
estetis dan emosi personal dari sang seniman, maka pada seni terapan lebih
mengedepankan aspek rasa estetis mendukung fungsi dan tujuan utama penciptaan
karya seninya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Louis Sullivan dengancredo “bentuk
mengikuti fungsinya”, (‘form follows function’).
Sedangkan nilai
filosofis suatu karya seni bisa diamati manakala sebuah karya seni itu hadir
sesuai tujuan dan fungsinya dan memiliki penampilan yang memenuhi kriteria
estetis kreatif sebagai pengejawantahan bentuk jadi dari ide dan konsep
kreatifnya. Kadang nilai filosofis setiap karya seni tidak secara serta merta
dapat dipersepsi dengan panca indera kita saja. Tetapi harus melalui proses
analisis dan perenungan yang mendalam serta didukung oleh rasa keingintahuan
yang besar untuk menyibak makna dan ‘content’ yang tersirat dari sebuah
karya seni.