Selasa, 21 Oktober 2014

Ragam Karakter Karya Seni






Pada awal kehadiran kesenian dalam kehidupan manusia memiliki arti tersendiri bagi kehidupan manusia. Terutama pada masa “domesticated perio” peradaban manusia yang memberikan waktu lebih banyak untuk melakukan hal-hal lain selain dari bekerja mendukung nafkah hidupnya. Meskipun secara kasuistik manusia sudah melakukan kreasi “seni” sebelum masa tersebut, yaitu di masa manusia masih‘nomadic’ dan masih bersifat komunitas “food gatherer” dengan lukisan-lukisan ‘cave paintings’nya. Meskipun berbagai asumsi raison d’etre keberadaannya banyak yang masih simpang siur mempertanyakannya. Namun yang pasti karena mereka belum mengenal istilah “art” maka karya-karya mereka baru dapat diapresiasi sebagai karya seni setelah beribu tahun kemudian. Dari kenyataan tersebut dapat kita amati bahwa sejak dahulu kala ternyata bakat dan kemampuan menciptakan karya seni sudah terlihat pada manusia purba yang belum menyadari bahwa apa yang mereka ciptakan adalah sebuah ‘karya seni’.
Kenyataan bahwa sebuah karya seni itu konon bisa dipersepsi keindahan dan maknanya karena entitas keberadaannya yang tergantung dari sisi mana mempersepsinya, ”Beauty is in the eyes of the beholder...”. Hal ini dapat diartikan bahwa keindahan sebuah karya seni dapat dibedakan karena cara pandang yang berbeda. Kasus keberadaan “cave paintings” tersebut ternyata dimaknai dengan berbagai asumsi yang didasarkan pada berbagai kepentingan yang memaknainya. Antara lain, seorang pakar sejarah seni
melihatnya sebagai ‘karya seni’ yang merupakan hasil representasi dari apa yang dilihat di alam kehidupan manusia Purba tersebut pada waktu dan tempat tertentu dengan segala aspek estetisnya. Kehadirannya bisa dijadikan sebagai satu titik tolak pengkajian historis perkembangan diakronik awal seni visual manusia; Sedangkan bagi seorang perupa, karya seni tersebut akan dilihat dari sisi kaidah kesenirupaannya dengan segala aspek bentuk estetisnya. Telaah teknis dan upaya apresiatifnya terhadap daya tampil lukisan dinding goa tersebut akan memperkaya vokabulari estetika kesenirupaan yang diperlukan bagi pengembangan dan pemantapan karirnya sebagai seorang senirupawan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa tampilan
karya seni tersebut dapat memberikan masukan yang dapat menstimulir
ide penciptaan karya seninya sendiri; Bagi pakar komunikasi, lukisan dinding goa tersebut merupakan medium komunikasi visual antar manusia dan kelompoknya yang saling bertukar pesan. Setiap elemen visual yang tergambarkan dianggap memiliki makna pesan yang tentunya dikomunikasikan dengan sesamanya dalam waktu yang sama atau dengan generasi berikutnya. Termasuk di dalamnya segenap ekspresi dan emosinya dalam proses penciptaannya. Hal ini didukung oleh pernyataan Leo Tolstoy (“Art is the Communication of Emotion”) yang menyatakan bahwa karya seni itu merupakan media komunikasi emosi dari si seniman kepada penikmatnya;
Sedangkan bagi pakar psikologi, lukisan dinding goa tersebut memiliki makna sebagai upaya kejiwaan untuk memberikan semangat dan sugesti bagi para pemburu dalam suatu upacara ritual sebelum perburuan binatang tersebut dilakukan di zaman Purba. Dengan mengacung-acungkan panah atau tombak kepada gambar-gambar binatang yang terlukis di dinding goa sambil menari-nari mengelilingi api unggun, mereka berharap pada perburuannya nanti akan membuahkan hasil yang diharapkan. Dari sisi lain, seperti yang tersirat dalam teori kejiwaan manusia yang disebut dengan terma “horor vacu” yang mengisyaratkan bahwa manusia itu pada dasarnya takut pada kesunyian atau kekosongan sehingga mereka kalau sedang sepi dan sunyi akan membuat
suara-suara atau gerak-gerak dan atau menggambar di dinding-dinding goa yang kosong tersebut seperti apa yang dilakukan oleh para “grafitti artists” masa kini dalam mengekspresikan emosinya. Hal ini seiring dengan pernyataan Eugene Veron yang menyatakan bahwa karya seni disebutnya sebagai “Art as the Expression of Emotion”; Bagi pakar edukasi, lukisan dinding goa tersebut konon dimaknai sebagai salah satu upaya edukasi bagi kelompok anak-anak yang harus tinggal di dalam goa karena ditinggal oleh orang tua mereka yang sedang melakukan perburuan. Lukisan tersebut diciptakan sebagai alat peraga visual yang menginformasikan berbagai jenis dan bentuk binatang yang harus diburu pada waktu mereka kelak sudah siap untuk ikut dalam perburuan dengan anggota masyarakatnya yang sudah dewasa.
Dari beberapa asumsi para pakar yang berbeda kompetensinya tadi ternyatakan bahwa sebuah tampilan lukisan goa dapat dipersepsi dan dimaknai secara berbeda. Terutama untuk menjawab pertanyaan mengapa karya seni itu meng’ada’ dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala. Namun secara pasti dapat dikatakan bahwa dari semua asumsi tersebut terlihat karakter dari kehadiran karya seni tersebut yang intinya memiliki karakter umum sebagai medium upaya pemenuhan kebutuhan manusia.
Nilai karakter sebuah karya seni juga dapat dilihat dari faktor tampil eksistensi fisiknya baik itu yang bersifat karya seni yang diciptakan untuk ‘meruang’ (spatial arts) maupun yang ‘mewaktu’ (timely arts). Ataupun karya seni yang merupakan kombinasi keduanya yang dalam kehadirannya memerlukan ruang dan waktu. Dalam hal ini karakter karya seninya terindikasikan dari sisi bentuk (physical forms) yang terukur karena standar
ukuran yang digunakan (sizes, volumes) maupun kondisi dan durasi waktu tampil yang diperlukan. Dengan demikian dapat juga diamati karakter karya seni yang berbeda tidak saja karena ruang yang diperlukan untuk mengada itu berbeda, tetapi juga karena waktu yang diperlukannya juga berbeda durasinya. Di samping itu, boleh juga dikatakan bahwa karakter karya seni bisa dibedakan antara kehadiran fisiknya yang sudah jadi (finished object) dengan yang (on-going process object) karena perbedaan jenis atau genrenya.
Masing-masing disiplin karya seni dengan ‘intrinsic properties’ yang berbeda juga bisa memberikan persepsi kesan karakter yang berbeda pula. Baik itu yang menyangkut kualitas dan kuantitas elemen-elemen intrinsik yang diaplikasikan maupun yang bersifat “extrinsic properties” (unsur-unsur pendukung penampilan). Hal ini terkait dengan masalah penekanan dan dominansi penampilan karya seni itu sendiri yang dianggap dapat memberikan kesan karakter yang unik bagi kehadiran karya seni secara keseluruhan. Aplikasi praksis dari pendayagunaan intrinsic danextrinsic
properties/qualities pada setiap karya seni dapat dipersepsi sebagai upaya pembeda yang bisa digolongkan dalam tampilan gaya, langgam, atau corak (style or mode of expression) tersendiri. Khusus pada kehadiran karya-karya seni murni (expressive or absolute) memperlihatkan upaya pendayagunaan elemen intrinsik yang dominan karena didorong oleh keinginan memberikan ciri, corak, dan gaya yang berbeda sebagai sebuah gaya ‘tampil beda’ yang tersendiri baik itu yang bernuansa gaya pribadi, zaman, geografis, dan
mode masa kini atau semangat kekinian zaman (personal, periodical, geographical, & trend or l’esprit de l’age). Ini semua merupakan beberapa indikator karakter karya seni yang umum karena keberadaan atau kehadiran yang nyata dari setiap karya seni di sekitar kita.
Adapun karakter khusus dari karya seni ternampakkan pada tujuan, fungsi, ide dan konsep, serta nilai filosofis keberadaan karya seni tersebut beserta segala aspeknya. Hal ini bisa kita dapatkan dari hasil analisis pengamatan yang mendalam tentang semua karakter umum karya-karya seni yang ada sehingga bisa didapatkansignificant idea yang tersirat di dalamnya.
Tujuan dan fungsi kehadiran karya seni tentunya dalam tahapan penciptaan karya (creative process) menjadi tumpuan utama yang memberikan arah sasaran kemana sebuah karya seni nantinya akan dibawa. Didukung oleh ‘niat’ (rasa & karsa) maka tujuan dan fungsi karya seni menjadi ‘pengawal’ proses kreatif penciptaan karya seni sampai jadi dan berfungsi optimal sesuai dengan tujuan utama penciptaannya. Sedangkan
ide dan konsep merupakan pemicu dan pemikiran kerja bagaimana ‘tujuan’ harus diciptakan. Sebagai unsur pemicu, ide seorang seniman merupakan hasil dari banyak hal. Diantaranya dapat berupa observasi secara mendalam tentang karya dan fungsinya sehingga diperlukan suatu upaya eksploratif berbekal pengetahuan, ketrampilan, dan rasa estetis yang akan diujicobakan dalam kegiatan ‘trial & error’ untuk mendapatkan hasil bentuk yang diharapkan. Namun demikian perlu dicermati bahwa penciptaan karya seni
yang ekspresif berbeda nuansa ide konsepnya dengan karya seni yang bersifat seni terapan (applied arts). Kalau pelaksanaan ide konsep pada seni ekspresif lebih dominan aspek rasa estetis dan emosi personal dari sang seniman, maka pada seni terapan lebih mengedepankan aspek rasa estetis mendukung fungsi dan tujuan utama penciptaan karya seninya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Louis Sullivan dengancredo “bentuk mengikuti fungsinya”, (‘form follows function’).
Sedangkan nilai filosofis suatu karya seni bisa diamati manakala sebuah karya seni itu hadir sesuai tujuan dan fungsinya dan memiliki penampilan yang memenuhi kriteria estetis kreatif sebagai pengejawantahan bentuk jadi dari ide dan konsep kreatifnya. Kadang nilai filosofis setiap karya seni tidak secara serta merta dapat dipersepsi dengan panca indera kita saja. Tetapi harus melalui proses analisis dan perenungan yang mendalam serta didukung oleh rasa keingintahuan yang besar untuk menyibak makna dan ‘content’ yang tersirat dari sebuah karya seni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar